Opini & Artikel

Kontrak Karya Freeport: Kontrak Publik atau Privat?

Jakarta – Akhir-akhir ini, berkembang diskursus menarik mengenai status hukum Kontrak Karya (KK) antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia (PT FI) yang ditandatangani pada tahun 1991 untuk masa waktu 30 tahun atau sampai dengan 2021.

Seiring dengan adanya keinginan Pemerintah Indonesia untuk menerapkan legislasi dan regulasi di bidang mineral kepada PT FI, terdapat penolakan dari PT FI. Alasan utamanya, yaitu KK tidak dapat serta merta diubah tanpa ada kesepakatan kedua belah pihak.

Padahal, Pemerintah telah berupaya mengakomodir segala kepentingan PT FI mesti memiliki potensi melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.

Seolah, bekeras pada sikapnya, bahkan PT FI berencana mengajukan gugatan arbitrase atas dugaan wanprestasi Pemerintah atas KK. Dalam peraturan hukum perjanjian, benarkah sikap Pemerintah dan PT FI mendudukan secara hukum posisi KK?

Asas Pacta Sunt Servanda

Dalam hukum perjanjian, dikenal sebuah asas, yaitu asas Pacta Sunt Servanda. Pacta Sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang menjadi dasar hukum perikatan dengan mengambil prinsip-prinsip dalam hukum alam.

Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).

Pacta Sunt Servanda atau aggrements must be kept merupakan asas hukum yang menyatakan bahwa: “Setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian”.

Asas ini menjadi juga dasar hukum Internasional karena termaktub dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa: “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith”.

Dalam hukum nasional Indonesia, asas ini tertuang dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Itulah mengapa, perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus dianggap suci. Ada sanctity of contract yang berlaku dalam sebuah kontrak.

Kesucian kontrak ini, menyangkut pula relasi pembentukan kontrak dengan syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHper. Salah satu syarat sah perjanjian yaitu adanya suatu sebab yang halal (lebih tepat disebut sebab yang diperbolehkan).

Sebab yang diperbolehkan tersebut, ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan baik atau dengan ketertiban umum.

Artinya, ketika Kontrak sudah ditandatangani maka kontrak mengikat kedua belah pihak, kecuali bila kontrak batal demi hukum atau dibatalkan karena tidak memenuhi syarat objektif atau subjektif sahnya sebuah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer.

Memaknai hal di atas, KK PT FI sebagai sebuah kontrak tunduk pada ketentuan di atas. KK PT FI pun harus dianggap memiliki sanctity of contract dan atasnya berlaku asas pacta sunt servanda.

Kontrak Publik vs Kontrak Privat

Negara sebagai sebuah badan hukum, terpersonifikasi ke dalam dua bentuk badan hukum, yaitu sebagai badan hukum publik dan badan hukum privat (perdata).

Pemerintah sebagai legal entity dapat berada dalam kedudukan badan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1653 KUHPerdata yaitu dalam keadaan tiga macam, yakni manakala: (1) badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum; (2) badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum; dan (3) badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan (badan hukum dengan konstruksi keperdataan).

Selain sebagai badan hukum publik, Pemerintah pun dapat bertransformasi menjadi badan hukum privat sebagaimana dipertegas dalam Pasal 1654 KUHPer, yang menyatakan: “Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasi atau menundukkannya kepada tata cara tertentu”.

Sebagai badan hukum privat, Pemerintah dapat melakukan tindakan dalam pergaulan hukum privat antara lain tindakan menjual dan membeli, menyewa dan menyewakan, menggadai dan menggadaikan, serta membuat perjanjian.

Pada saat Pemerintah bertindak sebagai badan hukum privat maka Pemerintah tunduk pada peraturan hukum perdata. Pemerintah pun bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan.

Begitupula, posisi Pemerintah sebagai pihak dalam KK. Pemerintah menjadi badan hukum privat yang memiliki posisi setara dengan PT FI sebagai pihak di sisi lain. Pemerintah menjadi wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan.

Aturan-aturan mengenai hukum kontrak berlaku bagi Pemerintah. Hal ini terbukti dalam Pasal 169 huruf a UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba yang mengatur bahwa KK tetap diakui sampai berakhirnya KK.

Dalam Pasal 169 huruf b UU No. 4 Tahun 2009 pun diatur bahwa pemegang KK harus menyesuaikan isi KK dengan UU Minerba. Ketentuan Pasal 169 huruf b UU No. 4 Tahun 2009 ini ditindaklanjuti dengan adanya renegosiasi KK yang hingga saat ini, telah lebih dari 8 tahun, belum menemui kesepakatan antara Pemerintah dengan PT FI.

KK: Negara Terdegradasi

Praktik transformasi negara sebagai badan hukum privat, cenderung merugikan. KK mendegradasikan kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi, dan kedaulatan hukum sehingga menjadikan KK bersikap tidak adil terhadap bangsa Indonesia sendiri.

Mineral yang merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui yang sejak dahulu diharapkan untuk dapat memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat dalam kehidupan berbangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ‘Pacta Sunt Survanda’.

Negara seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia ternyata harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah dengan korporasi-korporasi internasional tak ubahnya seperti membentuk konstitusi di atas UUD.

Hal demikian, dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.36/PUU-X/2012 dalam putusan Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Mahkamah berpendapat bahwa kontrak keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas sumber daya alam.

Tentang kemungkinan negara dapat mengontrol sepenuhnya memang menjadi persoalan sendiri kalau hanya mungkin dengan hukum publik berupa konsesi dan perizinan. Konsesi telah lama ditinggalkan karena justru konsesi sangat merugikan negara dan dapat menciptakan penguasaan wilayah secara de facto.

Sedangkan perizinan memungkinkan negara untuk mengontrol sepenuhnya namun tetap ‘terbatas’, karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka demi adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum perbuatan negara yang dilakukan oleh administrasi negara pun dapat dipersengketakan secara hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga negara tidak dapat sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya termasuk dalam hal perizinan.

Akhirnya, KK PT FI sebaiknya disudahi pasca 2021 sesuai UU Minerba dengan skema izin usaha. Pemerintah pun sebaiknya mengevaluasi cost and benefit atas keberadaan PTFI di Indonesia mengingat sumber kekayaan di negeri ini berasaskan kemerataan secara berkelanjutan.

Sebaiknya, potensi Indonesia-lah (BUMN) yang meneruskan operasi bekas PT FI pasca 2021. Semoga!

Mardiana, S.H.,M.H
*Dosen FH Universitas Sriwijaya, Pengurus Bidang Kajian Strategis, DPP Ikatan Alumni FH Undip
(wwn/wwn)

Related Articles

Back to top button