Oleh : Dadang.K
Pagi itu sang surya enggan menampakkan sinarnya, anginpun berhembus kencang menggoyang dedaunan, disertai gemericik air hujan dan membasahi bumi.
Suasan itupun berjalan cukup lama, sehingga membuat penghuni kampung kecil itu, enggan keluar rumah dan menikmati dinginnya pagi dengan berkumpul dengan keluarga.
Sedang diujung bukit, nampak seorang perempuan yang sedang hamil melangkah pelan dengan membawa keranjang dipunggungnya yang berisi berbagai macam bibit tanaman.
Suwarti, orang kampung tersebut memanggil Ning Warti, dengan terus berjalan menyusuri bukit yang cukup terjal, dengan sesekali mengambil sebatang bibit tanaman dan menanamnya dengan penuh semangat.
Peluh keringat membasahi raut wajah Ning Warti, akan tetapi semua sepertinya tidak menjadi halangan baginya untuk melanjutkan kegiatannya.
Tiba tiba ada suara yang memanggilnya dari belakang, ternyata kang Parman tetangganya datang menghampirinya, dengan geleng geleng keheranan, kang Parman terus memandangi Ning Warti yang dengan susah payah menanam pohon tanpa mempertimbangkan keselamatan janin yang dikandungnya.
“Ngapain yu, kok pagi pagi sudah ke ladang, hujan lagi, apa gak ada hari lain…?,” sapa kang Parman penuh keheranan.
Ning Surtipun menoleh dan sambil meletakkan keranjang yang digendong dipunggunya, kemudian Ning Surti duduk ditanah sambil mengelus perutnya yang sudah mulai membesar.
Sambil minum air putih yang dibawanya dari rumah, mata Ning Surti menerawang jauh memandangi bukit yang terbentang dihadapannya, nampak gundukan tanah kosong dan bebatuan, tanpa ada tanaman yang menghiasinya.
” Gini kang, saya berupaya menanam pepohonan supaya kelihatan indah dan hijau bukit ini,” jawab Ning Surti sambil sesekali mengusap keringat yang membasahi keningnya.
Jawaban tersebut membuat kang Parman merasa lebih heran, dan ingin berbicara lebih jauh.
Dialog ringan antara keduanya berlangsung dengan santai, akan tetapi dari percakapan tersebut membuat kang Parman lebih mengerti maksud dan apa yang dilakukan oleh Ning Warti tersebut.
“Kang Parman tau to, bukit ini kering, kosong tanpa pepohonan, terus gimana nasib anak saya yang didalam kandungan ini,” Cetus Ning Warti dengan nada tinggi serta pandangan matanya kosong.
Kata kata Ning Warti membuat kang Parman lebih bingung dan sedikit menyalahkan Ning Warti yang bekerja sendiri tanpa menghiraukan nasib anak yang ada didalam kandungan.
“Lo…, kalo Ning Warti sayang dengan bayinya ya jangan bekerja seperti ini, sangat beresiko,” kata kang Parman sedikit menasehati.
Akan tetapi kata kata kang Parman membuat Ning Warti mukanya merah, dan matanya melotot memandang kang Parman dengan tajam penuh kebencian.
“Kang Parman sebagai tokoh kampung, seharusnya mulai sadar dan tau apa yang terjadi kalau bukit ini tetap gundul, sumber air mulai sulit,” suara Ning Warti tegas dan keras.
Karena aku sayang bayiku yang didalam kandungan ini, ketika orang kampung menikmati tidurnya, aku terus menanami bukit ini, supaya bayiku nanti bisa menghirup udara segar dan tidak kesulitan dalam mendapatkan air untuk hidup, Urai Ning Warti kepada kang Parman, seperti seorang dosen dihadapan mahasiswanya.
Dari percakapan ringan tetapi penuh makna tersebut, membuat kang Parman tidak dapat menikmati tidur malamnya, dan merenungi semua kata kata Ning Warti tentang makna dan pentingnya sebuah hutan bagi kelangsungan hidup semua makhluk.
Waktu terus berjalan, kandungan Ning Warti mulai membesar, seiring dengan pertumbuhan tanaman yang dia tanam sebelumnya.
Sebagian bukit kecil tersebut mulai menghijau, tanah dan bebatuan tertutup dengan rimbunnya pepohonan yang mulai belajar tumbuh dengan mengepakkan daun sebagai sayapnya.
Kegersangan dan tanah kerontangpun mulai terkikis, tertutup terhiasi dengan bayi kecil yang mulai menancapkan akarnya dan memberikan harapan, perlindungan, kenyamanan bagi penghuni alam sekitarnya. ( Medio jelang Idul Adha 2021)


