Oleh: Tri Udhayana
Tak seperti biasanya, malam itu cuaca berasa sangat gerah sekali, anginpun serasa enggan berhembus, menambah suasana jengah.
Kala itu awan ber-arak kemerahaan seolah menghiasi langit dengan warna darah.
Astagfirullah ada apa dengan alam ini?
Dalam hati, telingaku terngiang- ngiang kembali kata – kata mbah wiro cangklong seminggu yang lalu.
Si Mbah bercerita tentang ramalan atau paweling sepuh tentang fenomena alam yang bakal terjadi di nusantara ini, khususnya tanah jawa.
Cerita kuno pada masa kakek buyutnya mbah wiro, orang – orang mengatakan bila perilaku para pemimpin sudah meninggalkan kepedulian akan Dharma, kawulo alit akan banyak berbuat diluar garis kabudayan nusantara, atau dengan kata lain wong jowo ilang jawane.
Artinya bangsa ini kehilangan kepribadiannya yang adiluhung.
Mbah wiro bilang, kalau manusianya sudah lupa jati dirinya, maka alam yang akan mengingatkannya.
Desah nafas terasa menyumbat dada ini, ketika mengingat semua pitutur itu.
Betapa tidak, kini seringkali kutemui fenomena alam yang terjadi dikolong langit ini sangat miris menyayat hati.
Tak sedikit orang – orang bepergian entah itu bersenang – senang atau perjalanan mengais nafkah, tiba – tiba mengalami bencana luar biasa.
Benarkah ini hukuman?
Ya Allah Gusti semoga hamba selalu dalam ampunanMu.
Malam semakin larut, akan tetapi langit tak nampak gelap, melainkan semakin cerah memerah seolah dunia ini dipenuhi cahaya kembang api.
Orang-orang dikampungku yang biasanya lalu – lalangpun seakan enggan keluar rumah, sehingga nampak lengang dan sunyi.
Celoteh binatang malam pun tak lagi mau berdendang seakan turut merasa panasnya hawa alam ini.
Aku sedikit tersentak ketika terbersit dalam ingatanku akan ramalan kuno tentang Sabdo palon nagih janji yang sering didengung – dengungkan.
Bila saatnya nanti aku kembali, akan kuberi tanda akan kedatanganku.
Giri – Giri akan menurunkan wedus gembel, sungai – sungai nggegirisi membawa banjir bandang begitupun matahari akan membakar angkasa.
Semua adalah peringatan Yang Maha Adil, agar manusia kembali pada jalan yang telah dituntunkan.
Namun yang terbayang olehku, betapa berdukanya jiwa ini, manakala melihat anak – anak yang belum tahu menahu keseimbangan dunia harus turut merasakan pedihnya karma.
Suara gemuruh sangat jelas walau terdengar jauh, seolah kudengar suara jerit anak – anak dan wanita.
Sementara itu langit kian mencolok membara seolah bumi ini benar – benar terbakar.
Aku merinding dan jadi gelisah, tak jelas apa maknanya dan tanpa kusadari dadaku ikut bergemuruh seperti suara yang kudengar.
Aku ingin bertanya pada yang lain apakah mereka juga merasakan hal yang sama denganku, namun tak satupun orang yang melintas didepan rumahku.
Masya Allah begitu memilukan duka ini, mengapa semua itu terjadi begitu cepatnya disaat saudara – saudaraku dalam pakaryan sehari – harinya.
Kabar duka ini merambat seantero negeri dengan sejuta luka menyertainya.
Akupun terdiam tak lagi mampu berkata – kata, karena apa yang dikehendaki Yang Maha Kuasa adalah yang harus terjadi.*


