LUMAJANG – Pemerintah pusat mulai mengenalkan pupuk kimia bersubsidi dengan program revolusi hijau di era tahun 70 an, berlanjut program bimas dan inmas, akan tetapi dalam penyalunyalurannya hingga kini masih mengalami banyak kendala.
Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) merupakan cikal bakal subsidi pupuk itu sendiri, peran petani dan kelompok tani harus proaktif untuk menyusun kebutuhan usaha taninya mulai benih pupuk dan obat obatan, hingga saat ini Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) lah yang berperan menyusun RDKK tersebut efek nya petani tidak paham anjuran teknis pemupukan yang benar sesuai anjuran pemerintah sehingga jika terjadi kekurangan subsidi pupuk petani hanya bisa berteriak tanpa tahu akar masalah nya
Hal ini diperparah pada kemampunan pemerintah pusat dalam mensubsidi kebutuhan petani sehingga dari rekap RDKK secara nasional hanya sanggup di subsidi sebagian saja, dan lagi lagi petani pahamnya hanya pengajuan awal saja hasil akhirnya tidak paham.
Untuk membagi kebutuhan yang kurang tadi menteri pertanian menerbitkan SK untuk membagi pupuk yang ada per provinsi, di propinsi Gubernur menerbitkan SK untuk membagi Alokasi per Kabupaten, terakhir Bupati membagi alokasi tersebut per kecamatan agar pupuk bisa di terima pengecer untuk disalurkan pada petani di wilayah kerjanya.
Nah disinilah proses penyaluran pupuk bersubsidi ini bermula, angka yang di tetapkan masing masing lini masih mengacu pada penyerapan pupuk itu di tahun sebelumnya sehingga kadang terjadi perbedaan antara SK yang ada dengan jumlah RDKK nya, secara logika RDKK harus lebih besar dari SK yang ada, tetapi saat ini masih di jumpai bahwa RDKK lebih sedikit dari SK, secara proporsional alokasi tersebut harus mengacu pada jumlah pengajuan dari RDKK selanjutnya harus dilihat alokasi subsidi yang di dapat, sehingga untuk adilnya harus di prosentase sesuai pengajuannya, ini sangat penting karena untuk pemerataan. Bagi distributor dan kios angka yang besar dari sebuah SK akan dijadikan dasar dalam penyaluran nya, karena berapa besarpun angkanya akan dihabiskan karena motif bisnis, mereka akan menggenjot penyaluran nya tapi di sisi lain RDKK jarang menjadi acuan dalam penyaluran tersebut sehingga permasalahan kelangkaan pupuk selalu terulang tanpa penyelesaian
Inilah yang memicu pelanggaran dalam penyaluran distribusi pupuk,
Disisi lain petani juga harus lebih proaktif untuk melihat apakah lahannya sudah terdaftar dalam RDKK ini penting untuk mencegah permainan oknum yang memanfaatkan peluang akubat petani tersebut tidak terdaftar sehingga lagi lagi HET menjadi sebuah aturan ompong tanpa ada sanksi bagi pelanggar nya.
Keleluasaan lain terjadi pada alokasi pupuk subsidi yang menjadi patokan adalah angka per kecamatan, celahnya para oknum akan memainkan pupuk tersebut sesuai kehendak nya, sehingga dijumpai antar kecamatan tidak sama proses pelaksanaan distribusi nya, seharusnya bisa dinas membagi angka alokasinya sampai tingkat kelompok tani, ini akan mengurangi kecurangan distribusi itu sendiri.
Disisi penegakan hukum kalau mengacu pada SK Mendaq ancaman sanksinya sangat ringan dan tidak memberikan efek jera, seharusnya komisi pengawas pupuk dan pestisida juga tim cyber pungli menitik beratkan pada pelanggaran penyalah gunaan dokumen RDKK dan KTP sebagai pintu masuk untuk penegakan hukumnya, karena pasal yang diterapkan lebih jelas sanksi hukumnya
SK Kepala Dinas ketahanan pangan dan pertanian kabupaten Lumajang nomor 188.45/874/427.44/2022 tanggal 23 September 2022 tentang realokasi kedua pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dalam wilayah kecamatan di kabupaten Lumajang terdapat penambahan alokasi subsidi untuk pupuk urea sebanyak 5.502 ton dari alokasi awal sebanyak 26.798 ton, sedangkan untuk pupuk NPK Bersubsidi ada tambahan 9.894 ton dari alokasi awal sebanyak 15.372 ton, sedangkan untuk pupuk jenis SP 36 dan pupuk organik granul juga pupuk organik cair tidak ada tambahan karena sudah tidak di subsidi dan sudah habis subsidinya sejak bulan mei tahun 2020, adapun alokasi subsidi pupuknya untuk ZA 2.973 ton, SP 36 535 ton organik granul 3.805 ton dan organik cair 1.882 ton.
Penambahan alokasi diatas wajib juga dikawal dan diawasi distribusinya di tiap-tiap kecamatan demi keadilan alokasinya tadi di bagi sesuai sisa alokasi ERDKK, sehingga akan tepat pada sasaran yaitu petani yang berusaha tani.
Peran serta komisi pengawas pupuk dan pestisida harus optimal dan dinamis untuk berpartisipasi aktif sesuai tupoksinya.
(Sumber/Penulis) : Iskhak Subagio, SE
Dewan pakar HKTI Jawa Timur.
Ketua DPC HKTI LUMAJANG.
Ketua Forum komunikasi petani Jawa timur di Lumajang
Editor : dhw_robhin


