Nusantara

Entas-entas, Warisan Budaya Leluhur Suku Tengger

Gempur News – Entas- entas merupakan tradisi menyempurnakan arwah dari belenggu duniawi, agar dapat menapaki jalan terang menuju swargaloka atau nirwana dalam keadaan moksa. Tradisi ini merupakan upacara kematian, khususnya di Desa Tengger Ngadas, Poncokusumo.

Ritual adat ini, dilaksanakan pada hari yang ke-1000 atau minimal pada hari ke-44 setelah keluarga ada yang meninggal. Istilah Entas-entas berasal dari bahasa Jawa, yaitu entas yang berarti mengangkat.

Sebagaimana kelahiran, kematian sejatinya merupakan sebuah babak baru. Oleh karena itu, kematian tanpa Entas-entas dianggap sebuah prosesi yang tak tuntas bagi suku Tengger.

Sebab di dalam alam pikirnya, sudah tertanam pemahaman ‘dunia antara’—yang meski tak terjangkau oleh nalar manusia, wilayah ini diyakini sebagai ruang tunggu bagi arwah-arwah yang belum diswargakan.

Selain merupakan upacara tertinggi dalam tingkatan penghormatan terhadap leluhur, Entas-entas juga diyakini sebagai mekanisme preventif agar kehidupan manusia terhindar dari malapetaka. Maka tak heran, jika ritus ini lebih menyerupai kenduri ketimbang menggambarkan suasana dukacita.

Tepat setelah matahari terbenam, Entas-entas dimulai dengan menggelar prosesi Rakan Tawang. Sebuah laku yang menandai sakralnya hubungan antara manusia–leluhur–Sang Pencipta, lewat perantara kemenyan dan rapalan mantra.

Selepas Rakan Tawang, keluarga dan kerabat mendiang kemudian memberkati kulak secara bergantian. Kulak adalah sejenis bambu yang dijadikan wadah untuk menampung benda-benda persembahan bagi leluhur.

Pada rangkaian Entas-entas hari kedua, sejumlah properti ritus diarahkan ke sebuah ruang terbuka, diiringi tabuhan alat musik tradisional yang membahana di sepanjang jalan menuju arena penyembelihan hewan atau Mbeduduk Ing Sanggar Padudukan.

Jika dicermati lebih jauh, momen ini agaknya cukup padu untuk memantik sebuah dialektika tentang warisan budaya leluhur yang semestinya memang kekal di tangan para pelestari.

Tak peduli seberapa derasnya arus modernisasi, setiap ritual adat yang dilestarikan sejatinya sudah menjadi swargaloka tersendiri bagi khazanah kebudayaan di Nusantara.

Pada ritual penyembelihan hewan, seorang pandita dan beberapa dukun adat kembali menopang ritual dengan magisnya mantra. “Setiap hewan yang disembelih dianggap suci,” ujar seorang warga yang hadir.

Kesadaran kolektif ini lazim ditemui di kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekuatan transenden. Sebab suatu pengorbanan, meski diwarnai pertumpahan darah, tak selamanya berkonotasi negatif.

Justru sebaliknya, kesakralan ritual ini dianggap dapat memberikan berkah bagi kehidupan, terutama bagi kesuburan tanah yang berujung pada hasil panen yang berlimpah.

Selanjutnya sampai pada prosesi ritual Nyolong Iwa, yaitu prosesi penyerahan sesaji kepada istri salah seorang pemangku adat, berupa potongan daging hewan yang disembelih pada saat Mbeduduk Ing Sanggar Padudukan.

Disusul dengan Ngaturi Sitiderma, sesuai penamaannya, ritual ini merupakan gambaran rasa syukur atas segala sesuatu yang diperoleh dari kehidupan. Baik berkah panen, peternakan, maupun hasil usaha (perdagangan atau sebagai tenaga kerja).

Bersama dengan itu, simbol Ibu Pertiwi pun menjelma pada sosok istri pemangku adat. Ia kemudian mengolah daging hewan yang diserahkan oleh keluarga mendiang, untuk dijadikan sesaji bagi leluhur sekaligus panganan untuk seluruh warga.

Selanjutnya, persiapan dilakukan untuk menapaki ritual pamungkas. Layaknya upacara adat Ngaben, upacara kematian bagi suku Tengger juga tidak terlepas dari tradisi pemurnian jiwa, lewat ritual kremasi.

Tahapan ritual ini mewakili keluhuran budaya Jawa, serta menunjukkan betapa pentingnya naluri dan peran perempuan dalam memelihara dan merawat kehidupan lewat keterampilan mengolah aneka santapan.

Di situlah letak perbedaan yang cukup signifikan dengan upacara adat Ngaben. Tanpa mengurangi kesakralan makna dan filosofi Entas-entas, boneka petra dihadirkan sebagai simbol untuk mengenang mendiang semasa hidup. Sementara jasad atau tulang belulangnya tetap dibiarkan bersemayam di pekuburan.

Meski lebih menyerupai sebuah perayaan, sepertinya bukan semata takhayul jika masyarakat Tengger menganggap Entas-entas sebagai medium pembebasan jiwa paling tinggi. Sebab beberapa hal memang menjadi lebih masuk akal, ketika berhenti dipertanyakan di ruang nalar.

Seperti Suku Tengger yang memercayai adanya swargaloka sebagaimana yang diyakini para pendahulunya atau sesederhana menganggap tema kematian sebagai sesuatu yang rileks untuk diperbincangkan sembari menyeruput seduhan kopi. (*etnis.id)

Related Articles

Back to top button