(Penulis : Slamet Efendi, S.Pd.I)
Setiap manusia di dunia ini dilahirkan dengan hak yang melekat pada dirinya, tanpa memandang suku, agama, ras, atau latar belakang sosial. Hak untuk hidup, hak untuk merasa aman, hak untuk hidup nyaman, hak untuk belajar, dan hak untuk berkembang adalah hak-hak dasar yang dijamin oleh undang-undang. Hak-hak ini adalah fondasi dari kehidupan bermasyarakat yang adil dan beradab.
Dalam sistem hukum Indonesia, perlindungan terhadap hak-hak ini diatur secara jelas dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan. Pasal 28A hingga 28J UUD 1945, misalnya, menjamin hak setiap warga negara untuk hidup, kebebasan, dan keadilan. Hak untuk belajar dan berkembang juga tercermin dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang memastikan bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Namun, penting diingat bahwa setiap hak memiliki batasan. Hak seseorang tidak boleh melampaui atau melanggar hak orang lain. Pelanggaran terhadap hak-hak ini memiliki konsekuensi yang diatur dalam hukum pidana maupun perdata.
Sebagai contoh, Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan:
“Penganiayaan dihukum dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Ini melindungi hak seseorang untuk merasa aman dari ancaman fisik.
Selain itu, Pasal 335 KUHP juga mengatur larangan perbuatan tidak menyenangkan yang dapat mengancam kenyamanan seseorang. Pasal ini berbunyi:
“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain untuk berbuat, tidak berbuat, atau membiarkan sesuatu, dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain, dihukum dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda.”
Dalam ranah perdata, Pasal 1365 KUH Perdata mengatur soal ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum:
“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Ini berarti, jika seseorang melanggar hak orang lain hingga merugikan pihak tersebut, maka pelaku wajib memberikan ganti rugi.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Bung Karno, “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas, di atasnya kita mengisi dengan hak-hak dan kewajiban yang adil dan seimbang.” Kutipan ini mengingatkan bahwa kebebasan, termasuk hak-hak dasar kita, harus digunakan dengan penuh tanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.
Nelson Mandela juga pernah berkata, “To deny people their human rights is to challenge their very humanity.” Penolakan terhadap hak seseorang berarti menolak kemanusiaan itu sendiri. Hak asasi adalah inti dari keberadaan manusia, dan melindunginya adalah kewajiban bersama.
Pelanggaran terhadap hak-hak ini tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada tatanan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, hukum hadir untuk menjaga keseimbangan. Dalam budaya Indonesia, konsep “gotong royong” mencerminkan betapa pentingnya hidup bersama dengan saling menghormati.
Pada akhirnya, penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah inti dari kehidupan yang damai dan harmonis. Dengan saling memahami dan menghormati, kita tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menciptakan masyarakat yang berkeadilan dan beradab. Semua orang punya hak, dan hak itu harus dijaga dengan tanggung jawab, demi masa depan yang lebih baik untuk semua.
Penulis : Slamet Efendi, A.ma,. S. Pd.I,
Lahir : Lumajang, 19 Juli 1984, Guru, Juga menempuh Jurusan Hukum, Proses menyelesaikan Studi S2 M.H dan M.Pd di Unmuh Sidoarjo, Pemerhati Pemangku Kebijakan, aktif in Organisation Non Government, Mondok 7 Thn, Anggota Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah & Keadillan 2023 – 2024, Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Publick di Lumajang Periode 2023 – 2028), Aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat LBSI Divisi Hukum.


